Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi-Yudi Kristiana

Myedisi

Gramedia Digital

Independesi kejaksaan dalam penyelesaian kasus korupsi di Indonesia memegang peranan penting sebagai penuntut umum. Karena itu, peran kejaksaan sangat dibutuhkan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di ranah pengadilan. Namun, peran jaksa tersebut sering kali dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mencari keuntungan. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab sulitnya memberantas korupsi di Indonesia.

Selain itu, kurangnya independensi dari aparat penegak hukum khususnya kejaksaan semakin memperkeruh suasana. Buktinya sudah banyak jaksa yang terlibat dalam kasus korupsi, sebagian berkilah karena mereka hanya mendapatkan upah yang kecil sementara beban tanggung jawab yang diemban sedemikian berat sehingga hal-hal tersebut timbul sebagai alasan klasik lemahnya kejaksaan dalam proses pemberantasan korupsi.

Istilah “jaksa” sendiri sudah dikenal sejak zaman Majapahit, tepatnya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 – 1390) dikenal sebagai Dhyaksa dan Adhyaksa yang diberi tugas untuk menangani masalah-masalah peradilan di bawah pimpinan Gadjah Mada. Selepas era Majapahit, tepatnya ketika era kolonial Belanda, badan-badan peradilan yang lebih modern mulai muncul dengan dikeluarkannya RO S-1847-23, yang wilayahnya meliputi Jawa dan Madura.

Kedudukan jaksa dalam sistem peradilan pidana adalah sebagai penuntut umum yang dijelaskan pada UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Jaksa diberikan tugas sebagai penuntut umum dan penyidik. Jaksa sebagai penuntut umum dapat dilihat di dalam Pasal 1 No. 5 Tahun 1991, yaitu jaksa sebagai penuntut dan untuk melaksanakan keputusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang wewenangnya telah diberikan oleh undang-undang.

Selain itu, ada pula jaksa sebagai penyelidik dan penyidik. Jaksa sebagai penyelidik adalah untuk menemukan barang bukti atau kejadian yang berkenaan dengan suatu tindak pidana, yang daripadanya jika ditemukan unsur-unsur tersebut jaksa dapat memutuskan ke tingkat penyidikan, di tingkat penyidikan jaksa akan bertugas untuk memperdalam fakta-fakta dan barang bukti awal yang sudah ditemukan pada saat penyelidikan terhadap suatu kasus pidana.

Perkembangan jaksa dalam menyidik tindak pidana korupsi harus dilihat dari awal republik ini berdiri. Di sana terdapat pe militer KASAD yang menyebutkan bahwa pemilikan harta benda dilakukan oleh tiga orang staf militer atau yang ditunjuk selanjutnya hasil temuan akan diserahkan kepada kejaksaan untuk ditindaklanjuti, dan dengan demikian kejaksaan juga telah memiliki wewenang dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang terjadi.

Peranan undang-undang mempengaruhi independensi kejaksaan dari tindak pidana korupsi karena undang-undang adalah produk dari politik. Suatu kebijakan politik tentu akan mempengaruhi produk hukum itu sendiri, apakah suatu rezim itu berniat untuk memberantas korupsi. Selain kebijakan politik, ada juga faktor sosiologis dan politik dalam independesi kejaksaan karena tidak dapat dipungkiri dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi itu sendiri seorang jaksa dapat mengalami tekanan sosiologis, baik dari masyarakat maupun pihak yang berkepentingan.

Masyarakat kini mendambakan kejaksaan yang independen, bebas dari pengaruh-pengaruh politik pada khususnya sehingga kejaksaan diharapkan mampu bekerja secara optimal dalam usaha penyidikan kasus tindak pidana korupsi yang saat ini marak terjadi, dari pemerintahan pusat, parlemen, hingga pemerintahan di daerah.

Additional information

Cetakan/Tahun Terbit

I/2006

ISBN

978-979-491-136-5 (PDF)

Jml. Halaman

148

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi-Yudi Kristiana”

Your email address will not be published. Required fields are marked *